BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pembangunan
adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka pengembangan atau
mengadakan perubahan-perubahan kearah keadaan yang lebih baik. Pembangunan yang
ingin dicapai bangsa Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur yang merata baik materil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Demi tercapainya pembangunan nasional, maka penyusunan
program pembangunan tersebut mengikuti suatu pola atau tatanan yang telah
ditentukan di dalam pemerintah negara Indonesia sebagai suatu penyelenggaraan pemerintahan di pusat
maupun di daerah.
Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 1 ayat (6) disebutkan: “daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batasan-batasan wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu dari beberapa yang menjadi urusan
Pemerintah Daerah pada skala Kabupaten/Kota, yang peneliti kaji dalam
penelitian ini berkenaan dengan Pembangunan kesejahteraan sosial
di Kota Bandung.
Tujuan
pembangunan kesejahteraan sosial mencakup seluruh masyarakat dan Bangsa Indonesia
termasuk warga masyarakat yang menyandang masalah kesejahteraan sosial. Salah
satu penyandang masalah kesejahteraan sosial sebagai sasaran dari pembangunan
kesejahteraan sosial yaitu orang-orang yang berstatus penyandang cacat.
Pembangunan
Kota Bandung sampai saat ini belum mencerminkan keadilan bagi semua orang,
dikarenakan adanya kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan fisik yang
lazim disebut kaum difabel (People with
different abilities) belum menikmati hasil dari pembangunan kota terutama
di bidang aksesbilitas pada ruang publik kota.
Fenomena
yang terjadi adalah bahwa isu tentang penyedian fasilitas aksesibilitas kaum
difabel di Kota Bandung dianggap tidak cukup penting. Dimana dalam pembangunan
fasilitas publik, fasilitas transportasi umum, dan kawasan perumahan di Kota Bandung
sebagian besar masih belum memenuhi standar minimal suatu konsep aksesibilitas.
Aksesibilitas adalah kemudahan yang
disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan
menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan
kelayakan, yang berkaitan dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen
setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara optimal, guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala aspek kehidupan dan
penghidupan, menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi semua
pengguna tanpa terkecuali.
Aksesibilitas dalam kajian ini difokuskan
kepada aksesibilitas difabel pada ruang publik
kota dengan mengambil Studi kasus sarana aksesibilitas yang terdapat di
Sepanjang jalan Dewi Sartika Bandung, untuk melihat sejauh mana sarana
aksesibilitas di jalan dewi sartika dapat memfasilitasi kebutuhan dari kaum difabel.
Hasil
penjajagan ditemukan bahwa sarana aksesibilitas yang ada di Sepanjang jalan
dewi sartika bandung belum aksesibel untuk diakses oleh kaum difabel yang dikarenakan
sarana aksesibilitas di Sepanjang jalan dewi sartika bandung yang terdapat
pedagang dan parkir di trotoar jalan dewi sartika.
Jalan Dewi
Sartika Kota Bandung ialah sebuah jalan yang membentang mulai dari jalan Ibu
Inggit Ganarsih yang berdekatan dengan taman Tegallega kemudian melintas
melewati terminal angkot kebon kalapa dan berakhir di alun-alun Mesjid Agung
kota bandung. Jalan ini melewati beberapa tempat penting di bandung diantaranya
terminal angkot Kebon Kalapa, International Trade Center (ITC) Bandung, Yogya
Toserba Kepatihan, Parahyangan Plaza Bandung, hotel dan took-toko perbelanjaan
lainnya.
Pentingnya
sarana aksesibilitas untuk kaum difabel dalam menjalankan aktifitas sehari-hari
menurut pandangan penulis dirasakan cukup menarik untuk diteliti karena sangat
menentukan kemampuan mobilitas kaum difabel dalam melakukan kegiatan dalam
kehidupan mereka (termasuk dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, ekonomi dan
kemasyarakatan).
Berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Bandung No 26 Tahun 2009 Tentang Aksesibilitas penyandang cacat fisik,
dalam Pasal 29 disebutkan : Setiap pengadaan sarana dan prasarana umum yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat wajib menyediakan
aksesibilitas. Kemudian dalam pasal 30 dijelaskan : Penyediaan aksesibilitas
yang berbentuk fisik dilaksanakan pada sarana dan prasarana umum yang meliputi
:
a. aksesibilitas pada
bangunan umum;
b. aksesibilitas pada jalan
umum;
c. aksesibilitas pada
pertamanan dan pemakaman umum;
d. aksesibilitas pada
angkutan umum;
e. aksesibilitas pada sarana
keagamaan.
Aksesibilitas penyandang cacat fisik merupakan salah satu prodak kebijakan
Pemerintah Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bandung guna mewujudkan
kemandirian, kesamaan hak dan kesempatan serta meningkatkan kemampuan
penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Akan tetapi
dalam pengaplikasian atau implementasi di lapangan prodak kebijakan tersebut
belum maksimal.
Marilee.S
Grindel (1980:8-15) mengidentifikasikan dua hal yang dapat memberikan
keberhasilan suatu implementasi kebijakan yaitu: “Content of policy and contexct of implementation”.Content of policy dapat
didefinisikan sebagai usaha untuk melihat apakah hakekat dan tujuan utama yang
hendak dicapai dari suatu kebijakan. Apakah kebijakan yang diambil dalam proses
pengambilan keputusan merupakan suatu pilihan yang tepat? Apakah hekeket kebijakan
tersebut secara langsung berhubungan dengan masalah yang muncul atau tidak? dan
lain-lainnya.
Contexct
of implementasion dapat didefinisikan sebagai usaha untuk melihat bagaimana
atau sejauhmana konteks politik (struktur maupun dinamikanya) mempengaruhi
pelaksanaan kebijakan pemerintah. Sebaik apapun suatu kebijakan, bila pada
tahap implementasinya banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik yang
berlangsung diantara elit maka kebijakan tersebut tidak akan mencapai sasaran
secara maksimal.
Berdasarkan
latar belakang penelitian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
aksesibilitas penyandang cacat fisik dilihat dari pelaksanaan kebijakan
Pemerintah Daerah, yang dibatasi pada Content
of policy dan context of implementation. Hasil penelitian ini dituangkan
dalam karya tulis ilmiah berbentuk skripsi dengan judul: “Implementasi Kebijakan Tentang Aksesibilitas
bagi Penyandang Cacat Fisik di Kota Bandung” (Studi Pada Jalan Dewi
Sartika)
1.2 Perumusan Masalah
Masalah utama
yang akan dikaji dalam penelitian ini bahwa implementasi kebijakan Pemerintah
Daerah Nomor 26 Tahun 2009 yang diatur untuk kesetaraan hak-hak dan
pemberdayaan penyandang cacat fisik belum optimal yang ditandai dengan adanya
masalah-masalah yang timbul. Diantaranya Sarana Jalan di sepanjang jalan Dewi
Sartika, belum Aksesibel Bagi Panyandang cacat fisik.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini
yaitu :
1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam bagaimana “Implementasi Kebijakan Tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat
Fisik di Kota Bandung” (Studi Pada Jalan Dewi Sartika).
2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam apa saja
hambatan-hambatan yang muncul dalam “Implementasi Kebijakan Tentang
Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat Fisik di Kota Bandung” (Studi Pada Jalan
Dewi Sartika).
3. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam upaya-upaya
yang telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung dalam mengatasi
hambatan-hambatan tersebut.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan
Akademis
Hasil
penelitian ini diharapkan
menjadi media untuk mengaplikasikan berbagai teori yang
telah dipelajari, yang pada akhirnya dapat berguna dalam pengembangan,
pemahaman, penalaran, serta pengalaman peneliti, juga diharapkan ada guna dan
manfaatnya bagi pengembangan administrasi negara dalam bidang kajian kebijakan
Pemerintah.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengambil keputusan untuk melaksanaan
perbaikan dan penyempurnaan pelaksanaan tugas dan fungsinya dalam pelayanan
masyarakat yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial, terutama kepada
pemerintah Kota Bandung dan Dinas Sosial Kota Bandung sebagai pelaksana
Kebijakan Pemerintah Kota Bandung dalam penyelenggaraan dan penanganan kesejahteraan sosial.
1.4 Kerangka Pemikiran
Kebijakan
memiliki bermacam-macam definisi, dengan demikian perlu dipahami terlebih
dahulu batasan yang jelas tentang kebijakan. Secara etimologis, kata kebijakan
pemerintah barasal dari Bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu: “policy”dan “publik”. Mengenai istilah policy,
sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli, karena sebagian dari para
ahli menterjemahkan policy sebagai
kebijakan dan sebagian lagi sebagai kebijaksanaan.
Beberapa pengertian kebijaksanaan dan kebijakan menurut para ahli, Peneliti Uraikan di bawah
ini :
Carl J Federick sebagaimana dikutip Leo
Agustino(2008: 7) mendefinisikan kebijakan sebagai
serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat
hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kesempatan-kesempatan
terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan
tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan
melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang
penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus
menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa
yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.
Solichin
Abdul Wahab mengemukakan bahwa : “istilah kebijakan sendiri masih terjadi
silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli”. Maka untuk memahami
istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40-50) memberikan beberapa
pedoman sebagai berikut :
a)
Kebijakan harus dibedakan dari keputusan
b)
Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi
c)
Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan
d) Kebijakan mencakup ketiadaan
tindakan ataupun adanya tindakan
e)
Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai
f)
Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik
eksplisit maupun implisit
g)
Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang
waktu
h)
Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar
organisasi dan
yang bersifat intra organisasi
i)
Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci
lembaga-lembaga
pemerintah
j)
Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.
Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan harus
dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang
berbeda artinya dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian
kebijaksanaan memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan
kebijakan mencakup aturanaturan yang ada didalamnya. James E Anderson
sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17) mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “a purposive course of action followed by an
actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”
(Serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu
masalah tertentu).
Peneliti
mengartikan policy sebagai kebijakan
dengan alasan kata kebijakan lebih luas daripada kebijaksanaan; kebijakan lebih
menitikberatkan kepada keputusan-keputusan yang mempunyai dampak positif maupun
negatif sementara kebijaksanaan lebih menitikberatkan kepada kearifan yang
dimiliki seseorang. Sedangkan kata public berasal
dari kata belanda, “publiek” berarti “orang
banyak, para penonton, atau pengunjung, bukan rahasia, untuk umum, rakyat,
negara atau pemerintah”.
Kata pemerintah dalam istilah Kebijakan
Pemerintah menujkan pelaku atau aktor dari pembuat kebijakan tersebut. Selaras
dengan pengertian tersebut, Hoogewerf ( ahli bahasa Tobing, 1983:9) menjelaskan
pengertian kebijaksanaaan pemerintah sebagai: “...kebijaksanaan para aktor dan
golongan tertentu, yaitu pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi
pemerintah”.
Membuat atau merumuskan suatu kebijakan
pemerintah bukanlah sesuatu proses yang sederhana dan mudah, hal ini disebabkan
banyak faktor yang terlibat didalamnya. Islamy (1997:78-119) mengemukakan ada 6
(enam) langkah dalam proses perumusan kebijaksanaan negara, yaitu:
1.
Perumusan masalah kebijakan negara.
2.
Penyusunan agenda pemerintah.
3.
Perumusan usulan kebijakan negara.
4.
Pengesaahan kebijakan negara.
5.
Pelaksanaan kebijakan negara.
6.
Penilaian kebijakan negara.
Kesejahteraan
sosial merupakan sebuah permasalahan yang serius yang harus mendapat perhatian
ekstra dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah mempunyai
tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup seluruh warga negara Indonesia. Dalam
kebijakan pemerintah terdapat tingkatan yaitu tingkat strategis dalam bentuk
Undang-Undang sampai dengan tingkatan
yang paling bawah dalam bentuk petunjuk teknis operasional. Seperti yang
dijelaskan menurut Lembaga Administrasi Negara (dalam Tachjan, 2006:17):
“Membagi kebijakan publik kedalam lingkup Nasional dan kedalam lingkup
Wilayah/Daerah. Disetiap lingkup kebijakan publik tersebut terdapat kebijakan
umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. Dalam lingkup Wilayah/Daerah,
bentuk-bentuk kebijakannya dikaitkan dengan penyelenggaraan asas
desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan”.
Marilee.S
Grindle (1980:8-15) mengidentifikasikan dau hal yang dapat memberikan
keberhasilan suatu implementasi kebijakan yaitu: “content of policy and contexct of policy”. Marilee.S Grindle
sebagaimana dijelaskan dalam Agustino (2006:154-158) Keberhasilan suatu
implementasi kebijakan publik ditentukan oleh:
I.
Content of
Policy (Isi kebijakan)
a.
Interest Affected (kepentingan
yang terpengaruhi oleh kebijakan).
Interest
affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi suatu implementasi
kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya
pesti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentigan
tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.
b.
Type of Benefits (Jenis Manfaat
yang akan dihasilkan)
Pada poin ini content of policy berupaya untuk
menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa
jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh
pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c.
Extent of change
Envision (Derajat perubahan yang diinginkan)
Setiap kebijakan
mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of Policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa
seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu
implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d.
Site of Decision
Marking (letak pengambilan keputusan)
Pengambilan keputusan
dalam suatu kebijakan memegang peran penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan,
maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari
suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e.
Program
Implementer (Siapa pelaksana Program)
Dalam menjalankan suatu
kebijakan atau program harus didukung dengan adanya pelaksanaan kebijakan yang
kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan, ini harus sudah
terdata atau terpapar dengan baik pada bagian ini.
f.
Resources
Committed(sumber-sumbar daya yang digunakan)
Pelaksanaan suatu
kebijakan juga harus didukung oleh sumber-sumber daya yang mendukung agar
pelaksanaannya berjalan dengan baik.
II.
Context of
Policy (Konteks kebijakan)
a.
Power, Interest,
and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang
terlibat..
Dalam suatu
kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan dan kekuasaan, kepentingan serta
strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat, guna memperlancar
jalannya pelaksanaan suatu implementasi kebijakan. Bila hal ini tidak
diperhitungkan dengan matang sangat besar kemungkinan program yang hendak
diimplementasikan akan jauh arang dari api.
b.
Institution and
Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan
kerakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c.
Compliance and
Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana)
Hal lain yang
dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan
respon dari para pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini adalah
sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi suatu
kebijakan.
Dari teori Merilee. S Grindle tersebut peneliti dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam Implementasi Kebijakan
tentang aksesibilitas bagi penyandang cacat fisik di Kota Bandung (Studi Kasus
pada Jalan Dewi Sartika. Jika dilihat dari prosesnya apakah aksesibilitas bagi
penyandang cacat sudah sesuai dengan designnya, serta apakah tujuan kebijakan
tercapai. Keberhasilan implementasi kebijakan tentang aksesibilitas bagi
penyandang cacat fisik di kota bandung dapat diukur dengan 2 faktor yaitu :
1.
Manfaat yang dihasilkan. Maanfaat dengan adanya aksesibilitas
bagi penyandang cacat ialah agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari dengan
mudah.
2.
Tinggat perubahan yang terjadi, yaitu dengan adanya
aksesibilitas bagi penyandang cacat fisik di kota bandung dapat meningkatkan
kemandirian penyandang cacat dalam menjalankan segala aktivitasnya, dan
memperoleh hak dan kesetaraan yang sama seperti masyarakat lainnya.
Tidak tercapainya tujuan kebijakan antara lain disebabkan oleh tidak
terpenuhinya syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam melaksanakan kebijakan
tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti mendasarkan pada teori yang ditemukan
oleh Mirelle.S Grindle, dengan alasan akademis dimana teori tersebut menurut
peneliti lebih lengkap karena teori tersebut berbicara tentang isi kebijakan
dan lingkungan yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan. Sedangkan alasan
praktisnya adalah adanya keterbatasan yang dimiliki peneliti baik menyangkut
waktu, tenaga dan dana yang dipunyai peneliti.
1.5 Proposisi
Berdasarkan
uraian konsep dan teori yang telah peneliti uraikan pada kerangka pemikiran,
maka peneliti memberikan kesimpulan bahwa Implementasi kebijakan tentang
Aksesibilitas bagi penyandang cacat fisik di kota bandung (studi kasus pada
Jalan Dewi Sartika) ditentukan oleh Kepentingan yang terpengaruhi oleh
kebijakan, Jenis manfaat, derajat perubahan, pengambilan keputusan, Pelaksana
program dan sumber daya yang digunakan.
1.6 Lokasi
dan Lamanya Penelitian
1.5.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Bandung,
khususnya di Dinas Sosial Kota Bandung Jalan Sindang Sirna No 40 Bandung.
Pemilihan lokasi penelitian ini adalah di Kota Bandung dengan pertimbangan,
Kota Bandung sebagai pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi regional, dimana
akses terhadap penguasa ekonomi semakin kompetetif.
1.5.2
Lamanya Penelitian
Penelitian
akan dilakukan mulai dari tanggal 3 November 2014 sampai dengan 25 Mei 2015.
UNTUK LEBIH LENGKAP DAPAT DI DOWNLOAD DISINI